Nenekanda

Kamis, 27 April 2023 15:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Maka kuputuskan mengajukan syarat kepadanya seperti Roro Jonggrang. Namun yang kuminta bukanlah seribu candi, tapi jiwanya. Ia menyanggupinya. Ia menulis sesuatu lalu mengambil salah satu bingkai fotoku, dan menggantinya dengan tulisan itu. Dengan hal itulah ia memberikan jiwa dan menaruh kutuk sumpahnya. Lalu ia pergi menjadi pengembara abadi.

Peterson muda, satu-satunya cucuku yang kurawat sendiri sejak 25 tahun yang lalu. Dua tahun setelah Peterson muda lahir, ayah dan ibunya diberedel senjata laras panjang dalam salah satu gedung bioskop di kota kecil ini. Mereka diberedel lantaran memakai pakaian berwarna merah pada tempat di mana orang-orang di dalamnya hanya menilai kemanusiaan melalui warna yang melekat di tubuhnya.

Aku mengajari Peterson muda untuk menjadi seorang besar. Aku ingin dia bekerja sebagai dokter, pegawai bank atau mungkin ahli pajak seperti Petersonku, kakeknya, yang telah wafat akibat stroke dalam perjalanan mewujudkan ambisinya untuk menjadi seorang kaya dan terpandang di tempat kelahirannya yang jauh dari sini. Maka dari itu, aku menyuruhnya untuk keluar dari ruang mimpi masa kanak-kanak yang sia-sia, berjuang melawan rintangan apapun yang menghadang jalannya menuju cita-cita.

Aku ingat, suatu hari Peterson muda pulang dari sekolah dan bercerita padaku. Hari itu ia dihukum oleh guru agamanya. Ia telah mengajukan beberapa pertanyaan seputar imannya, namun guru dan teman-temannya merasa tersinggung—entah mengapa mereka tersinggung akan pertanyaannya itu. Ia dihukum untuk membaca kitab suci sendirian di perpustakaan. Ia merasa bosan luar biasa di menit ke lima. Untuk mengakali kebosanannya, ia mencari buku-buku selingan untuk dibaca.

Dari sekian banyak buku-buku di rak perpustakaan sekolahnya, ia menemukan sebuah buku yang cukup tipis dan tua. Ia mencuri buku itu dan memperlihatkannya padaku. Ia menunjukkan sebuah gambar diri seorang pria kurus yang ada pada sampul belakang buku itu sambil bertanya apakah aku mengenalnya. Selain mataku yang sudah rabun, gambar pada buku tua itu pun memang sudah buram. Aku tidak bisa mengenalinya.

Peterson mudaku tak percaya. Ia bersikeras bahwa tidak mungkin aku tidak mengenalnya. Keyakinan Peterson muda diperkuat oleh sebuah tulisan yang terdapat pada salah satu halaman di dalam buku tua itu.

'kusapa ruang jiwa seberang sana
begitu getar hati seketika jatuh juga

kutaruh ambang pintu lonceng jiwa
nyaring bunyi ketika pintu terbuka

bila mata tak dapat melihat rupa
biar harum bunga penuhi ruangnya'

Tulisan itu sama persis dengan tulisan yang terbingkai rapih di dinding kamar tidurku. Aku dengan cepat mengambil buku itu dari tangannya dan melihat nama sang penulis. Ternyata dia adalah Lazarus, cinta pertamaku yang malang, yang sengaja kuhilangkan lima puluh tujuh tahun yang lalu dan menjadikannya seorang pengembara yang selamanya terus memburu kematian dalam hatiku.

Aku kembalikan buku itu ke tangan Peterson muda. Ia tak beranjak dari tempatnya, menungguku menceritakan semua yang kutahu tentang kisah pemuda yang sengaja mengganti namanya sendiri sebagai Lazarus—penulis dari buku tua yang tak sengaja ia temukan itu. Maka mulailah aku bercerita tentang cinta masa mudaku bersama Lazarus. 

Dulu, Lazarus adalah seorang pemuda yang sangat aku cintai, bukan hanya karena penampilannya saja, tapi juga dari segala sisi pemikirannya. Darah muda yang membara, menantang bahaya yang melanda kaum muda di eranya. Ia tidak segan-segan menuliskan protes atau sindiran keras untuk menyinggung kelalaian dan kekejaman rezim pemerintahan saat itu. Sering kali ia mendapatkan teror dan ancaman pembunuhan karena tulisan-tulisannya. Namun ia tidak pernah berhenti menulis. Ia tidak mau merelakan lidahnya dipotong oleh para centeng peliharaan tuan besar kuasa. Namun terlepas dari kisah hidupnya, kisah cintanya bersamaku tidak kalah membaranya. Dari seluruh pemuda yang mendekatiku, hanya Lazarus yang selalu bisa menyentuh hati dan pikiranku.

Suatu malam ia datang membawa setangkai bunga bintaro yang entah ia petik dari mana. Ia taruh bunga itu bersama secarik kertas di depan jendela kamarku, kemudian ia mengetuk jendela dan pergi begitu saja tanpa hendak menungguku membuka jendela kamarku. Ia membuatku gelisah sepanjang malam. Aku sibuk menerka maksud dari kelakuannya yang tidak sopan itu—memberi bunga lalu pergi begitu saja. Pemuda yang seperti apa di abad ini yang masih mempraktekan siasat-siasat kuno untuk meraih hati seorang gadis. Dia pikir dirinya adalah Romeo, mungkin. Oh Marta yang masih muda, mengapa saat itu kau terus memikirkannya—seorang pemuda yang sedang keracunan Shakespeare—sepanjang malam. Tidak hanya itu, tulisannya pada secarik kertas itu pun tak kalah membuatku mual dan ingin muntah.

'engkau adalah embun pagi paling manis
yang datang menyapa hutan hujan tropis
yang hilang ketika hari menuju siang'
 

Pembual, sangat pembual! Selama satu minggu ia terus melakukan hal serupa. Mengetuk dan pergi, mengetuk dan pergi, selalu seperti itu. Hingga akhirnya aku menyadari satu kebodohan yang ia lakukan berulang-ulang. Ia melakukan hal bodoh itu setiap hari pada waktu yang sama. Maka aku menunggunya dari balik jendela, sesat sebelum ia tiba. Tepat dugaanku, ia datang. Sebelum sempat ia mengetuk jendela kamarku, sudah lebih dulu kubuka jendela itu. Mampus kau! Tanpa basa-basi aku menarik tangannya masuk ke dalam kamar tidurku dan kami pun bercinta sepanjang malam. 

Sepanjang malam adalah waktu yang sangat singkat bagi kami. Menurutnya jika malam memang sesingkat ini, jelas bahwa syarat membangun seribu candi yang diajukan oleh Roro Jonggrang sedari awal memang sudah tidak dapat terpenuhi. Benar-benar syarat yang menikam cinta dan meredam ambisi pada tahta kerajaan di jaman purba kala. Aku sudah tahu arahnya, ia miskin dan tidak memiliki apa-apa selain jiwa dan pikirannya. Hal itulah yang menurutku menyebabkannya berpikir bahwa cinta tidak bisa ditawar dengan meterial dunia.

Aku memang jatuh cinta padanya, pemikirannya tentang cinta dan hal-hal berbau dunia sangat indah bagi diriku, Marta muda, kala itu. Namun tidak pernah sekalipun terbersit olehku untuk menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamanya. Terang hidupku nanti akan penuh dengan derita dan sengsara. Aku adalah manusia yang tidak bisa hidup hanya dengan kata-kata mesra penuh gelora asmara, meskipun sebenarnya aku suka. Anak-anakku nanti bisa mati kelaparan jika mengikuti cara hidupnya.

Maka dari itu kuputuskan untuk mengajukan syarat kepadanya seperti Roro Jonggrang. Namun yang kuminta bukanlah seribu candi, aku hanya meminta satu, satu saja, yaitu jiwanya. Aku meminta pemuda itu untuk memberikan jiwanya padaku, dan ia menyanggupinya. Ia menulis sesuatu lalu mengambil salah satu bingkai fotoku, dan menggantinya dengan tulisan yang ia tulis itu. Dengan hal itulah ia memberikan jiwa dan menaruh kutuk sumpahnya.

Di malam itu ia memutuskan dirinya untuk menjadi pengembara abadi demi memberikan jiwanya padaku. Ia berkata bahwa suatu hari nanti ia akan kembali melalui mata rantai yang telah ia tanam di dalam tubuhku untuk mengingatkanku pada kisah cinta sepanjang malam kami. Ia menghilang di bawah terang bulan dan tak pernah sekalipun datang kembali, sampai hari ini, hari di mana mata rantai yang telah ia tanam di dalam tubuhku, datang membawanya kembali padaku.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jerpis M.

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Spektrum

Kamis, 23 November 2023 20:55 WIB
img-content

Kisah Sebuah Nama

Senin, 20 November 2023 06:21 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua